Teruntuk Hujan di Luar Jendela

 

 

Jan...

 

Nanti, ketika langkah yang kau kenal itu kembali, maukah engkau menemani dia duduk di beranda, memandang bunga-bunga kertas merah muda yang mungkin akan memanggil sebuah nama? Aku tak tahu apakah kelak ia akan mengenangku, luka yang takkan pernah bisa ia lupa, namun nanti jika aku tiada di sana, akankah kau berbisik padanya sebelum ia tidur? tentang sesalku, tentang maafku yang sungguh-sungguh namun tak pernah berakhir di muara? 

Jan...

 

Mungkin aku tak bisa lagi pulang ke rumah ini. Takkan lagi kau lihat bayangku tertawa riang di setiap sisi. Namun tak apa, Jan.. dengan begini aku bisa memaknai setiap doa dan dosa. Hadirku hanya mengukir kecewa, Jan.. dan rumahku tak cukup besar untuk sesal yang membadai dalam gerakku

 

Maka maafkan aku, Jan..

 

bilamana aku tak sempat melukis mimpi indahku pada rintikmu. Pada diorama yang yang kau hadirkan demi semangatku, demi pejam yang menahan mendung-mendung, demi raga yang baru kembali ke pangkuanmu.

Jan...

 

Jangan bersedih ketika senyumku tak lagi menyapamu suatu hari nanti. Tak usah kau cari, sebab nanti jiwaku tak lagi mengembara di sini. Namun kabulkanlah, pintaku sebelum matahari membawaku serta. 

Nanti, ketika langkah yang kau kenal itu kembali, dekap ia dalam sedamai-damai rinai. Basuh tangis dan lelah di pundaknya, pastikan ia baik-baik saja..

 

Dan.. Jan..

 

Setelah titik di akhir paragraf ini menutup semua jendela, kuingin menghapus hadirku pada setiap tawa. Sematkan hangatku pada kening dan kedua pejam matanya. Jaga ia, cintai ia. 

 

Padamu, kutitipkan separuh hidup terindah yang kusia-siakan.

 

Padamu, kubenamkan do'a-do'a paling kushu tentang harapan bahagia

 

Untuknya, semoga....