Monday, February 28, 2011

Dua Cahaya




Bertahun sudah kau dewasakan hati kecil ini. Meski waktu yang keras telah mematahkan hari-hari. Senandungmu menguatkanku, tanpa pernah menyerah. Membawaku terbang setiap detik menuju hal-hal baru, yang tak bisa kutumbuhkan dengan tangan dan mataku.

Mungkin aku belum cukup berterima kasih, tapi dalam sanubari engkaulah yang terkasih. Meski keadaan membuatku ragu dan bimbang, tuk katakan betapa kau sungguh berarti.

Saat ini pula kusadari, usiamu yang semakin senja dan gelap yang mencalar dinding hati. Memaksamu untuk terbaring, tanpa memutuskan do'a untukku. Jemarimu yang semakin kurus, betapa hadirku merenggut kebahagiaanmu. Aku minta maaf, bila sampai saat ini aku masih membuatmu menangis, bahwasanya aku bukan lagi seorang anak kecil yang selalu menghabiskan waktu bersamamu. Yang selalu berada di dekatmu untuk kau pandang dengan binar penuh haru.

Aku minta maaf, bila sekarang aku tak bisa lagi bermanja dalam pelukanmu. Meninggalkanmu seiring kedewasaanku, mencari dunia baru. Aku takkan meninggalkanmu, percayalah. Karena tak mungkin sanggup bila bukan karenamu, tangan ini menyambut kabut. Betapa aku mencintaimu, betapa tak sanggup air mata ini mengganti ikhlasmu..

Kurekam dalam pandang sejenak, segala yang kudapat dari perih hatimu. Tiba-tiba aku merasa malu, tak berhak aku memaksamu memberikan segala kesempurnaan ini. Bila pada akhirnya aku mengecewakanmu, dengan kabar-kabar biru yang pasti meruntuhkan bara semangatmu.

Aku bersyukur menjadi dewasa, sebab tak lagi kuembankan dosaku di bahumu. Biarkan apa yang terjadi padaku menjadi satu keniscayaan yang pasti kugenggam, Insya Allah,  tanpa memberatkan senyummu.

Ketika aku mulai jatuh cinta pada seseorang, kutahu engkau takut kehilanganku. Engkau sedih karena orang yang paling kau cintai kini mencintai orang lain. Kau tahu suatu saat aku akan pergi, tapi tetap saja kau beri aku yang terbaik. Maka terlukislah sebuah pengorbanan terpedih di bumi, demi bahagiaku..

Aku berkaca pada air mata, menekuni setiap lekuk wajah. Alis, mata, hidung, mulut, telinga..

Lantas aku mengerti, mengapa bagimu aku adalah keajaiban. Ragaku, jiwaku adalah engkau yang menyatukan segala harapan. Tapi tetap saja rindu ini hampa, tak mungkin terselesaikan hanya dengan memandang samar bayangmu di wajahku..

Ah, andai aku bisa memelukmu saat ini. Akan kusudahi dambamu untuk kembali mendekapku dalam hangat. Aku ingin mengadu tentang kenyataan, tentang takdir, tentang kehidupan. Tentangku, dan cinta lain selain dirimu dan Tuhan. Tapi biarlah, kupersembahkan saja  ia yang tak kembali untuk membahagiakanmu. Sebab melodi detik hanyalah detak yang sekali saja disuarakan, dalam nyanyian waktu..

1 comment:

  1. specchless membaca tulisan mu ini, menemukan link mu dari sahabat fbku. dia bilang aku sedang kehilangan inspirasi untuk menulis coba lah baca blog merpati senja.

    dan benar,... tulisan mu membiusku ^^

    *rindu ayah bundaku*

    ReplyDelete

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search