Monday, November 28, 2011

Diorama Satu




Terlalu cepat kusudahi, tak terasa cinta menyapaku lagi. Apa yang salah dengan perasaan? Tak bolehkah ia tercalar?

Aku hanya manusia biasa. Terkadang jiwaku gamang dan rasaku tak biasa. Aku tak ingin melukai, tapi jua tak sanggup terlukai. Sore ini kuamati gumpalan-gumpalan awan yang berarak perlahan. Kubuka dua kancing kemeja putihku, membiarkan angin menyejukkan raga yang terlalu letih. Aku teringat padamu, bertanya-tanya dimana engkau sekarang? Sedang apa engkau saat ini? Semua tanya tiba-tiba menjelma cemas. Aku teringat betapa cepatnya waktu berubah. Rasanya baru kemarin aku berjalan di tepi ombak, bersama jiwa kekanakanku. Rasanya baru kemarin kaki kecilku belajar melangkah, bersiap untuk menapaki hidup, demi hari ini. Tiba-tiba aku merasa kehilangan.

Sebab aku tak dapat kembali.

Kutatap nanar dua binar mataku yang terpantul di cermin, kuselami dalam-dalam untuk mencari jawaban. Masihkan batin ini sekuat dulu? Masihkah ada kejujuran yang tersisa di sana?

Kukeluarkan sebuah potret dari laci meja di depan jendela. Kemudian tersenyum. Helaan nafas berat memecah kesunyian. Mengapa harus engkau yang mencintai orang sepertiku? Bisikku dalam hati.

"Engkau tahu suatu saat aku akan pergi..."

kutatap kembali mata yang sayu, senyum yang lelah..

"Aku ingin mencintaimu selamanya. Hanya itu yang kunamakan harapan..."

Burung-burung kecil terbang rendah, meliuk-liuk diantara bangunan tinggi dan singgah sejenak di ranting-ranting kering seberang rumah. Sambil merapikan bulunya, ia memandangku beberapa kali. Senyumku merekah. Pedih, namun kunikmati perasaan itu..

Mungkin dari awal ini bermula, aku  tak perlu mengutarakan apa yang membuatku tak dapat terlelap. Menampar dengan setia, mengusik kedamaian yang kian musnah. Mengapa ada akhir pada setiap awal? Dan mengapa pula hidup terus berputar? Aku tak ingin beranjak, aku tak ingin berubah..

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search