Saturday, May 30, 2015

Senyum Terakhir #2




"Mengapa engkau kembali?" tanya angin yang ternyata masih menitipkan usianya pada rimbun belantara.
Aku menatap nanar pada ratusan kunang-kunang yang melayang. Begitu ringan, begitu terang. Indah malam itu tak jua mampu meredakan badai yang menampar.

"Aku melihatnya duduk di ujung perahu kemarin malam," angin berdiri di sisiku. Lengannya yang beku merangkul bahu. 

"Lalu ia menengadah, ada percik hangat yang kembali membuat nafasku tercekat."

"Mengapa kau selalu menceritakannya padaku?" tanyaku sembari menepis rangkulannya.

Angin tak menjawab. Ia terbang rendah, lalu menukik tajam ke langit, menyisakan gemerisik dedaunan yang menyingkap lebar pandangku pada langit maha luas. Malam ini bintang datang..

"Kau lihat?" angin kembali berada di dekatku. Ia merasuk kedalam jiwa, memutar anak kunci yang selama ini kukubur dalam ruang jiwa yang tak pernah sanggup kuziarahi.
"Kemarin ia berbinar.. seperti itu."

Hening menyuarakan gemericik kecil. Aku telah berjalan lagi menuju lautan.

"Engkau ingin lari lagi?" tanya angin dengan nada sedih, "bahkan ketika aku memohon di depanmu?"

"Bagaimana kau bisa mencintai seseorang," ucapku akhirnya, "jika kau tahu esok tak dijanjikan pada siapapun?"

Angin menghela nafas berat.

"Bagaimana jika aku bahagia nanti? bagaimana jika kelak aku menggantungkan hidupku padanya? bagaima jika setelah itu... aku kehilangan segalanya?"

Angin memelukku erat. membasuh legamku dengan sayap. "Aku mengerti ketakutanmu," bisiknya lembut, "sebab engkau adalah aku..." sambungnya mulai terisak.

Angin menghilang dalam hembusku, menjadi serpih yang terburai di udara. Aku telah menerima ketakutanku, mengikhlaskan ketidakberdayaanku. Kakiku tak ingin berpijak terlampau lama rupanya. Kemudian, duniaku menghilang.

......

Aku terjaga di malam yang lain, di dataran milik angin yang selalu takut kusinggahi. Disana seseorang berdiri, kuyup oleh kerinduan yang kian sempurna. Di depan saksi kematian lalu, ia mengerjapkan mata, membiarkan hujan yang menghantam keras tubuhnya mengalir kembali ke lautan.

Akhirnya, aku menemukanmu...

Aku memanggil namanya. Jeritku menggema dalam pekat damai yang tersisa.

Ia berbalik dan menatapku dengan mata yang basah oleh air mata. Seketika ia berlari, meretas nyata dan menerima uluran tanganku. Seringai hitam menggambarkan bulan sabit merah di angkasa. Angin terjaga dari mimpinya, lengkingnya meraja dalam dosa yang tiba-tiba terbentang di tanah harapannya.

Malam itu, damai menyudahi senandungnya. Angin terpaku dalam debar terasing. Dan aku? entah berada di mana. 

Namun yang jelas...

Aku bersamanya.

Dalam mimpi tanpa henti.

Pengingkaranku

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search