Saturday, May 30, 2015

Senyum Terakhir #3




"Angin..." rintihku dalam pejam.

"Aku tahu engkau disana..."

"Kini engkau mengerti kan?"

Kurasakan semilir membelai rambutku yang basah. Tubuhku masih hanyut, samar malam mengiangkan sejarah yang terekam samar. Disini, tepat di anjungan ini.
Aku bercakap dalam diam. Jemariku masih menggenggam sesuatu. Sebuah janji. Begitu manis terpenjara.

"Kini engkau tahu kan? mengapa aku hanya duduk di sampingmu malam itu, sambil menatap sekat yang jelas memakamkan semua mimpiku."

"Kini engkau tahu kan? mengapa aku hanya sanggup mengurai dambaku satu demi satu, membebaskan jerat dari imaji yang terlalu."

Aku semakin menjauhi daratan.

"Aku mencintainya," ucapku gemetar, jemari yang kugenggam terasa dingin dan beku.

"Kini kau tahu kan? mengapa aku bisa mencukupkan hadirku menjadi sebentang bayang. Yang mungkin suatu saat kan ia kenang sebagai cahaya, sekaligus kegelapan yang pernah mempersembahkan padanya... sebentuk kebahagiaan... meski sesaat.."

Isak angin mulai kutengarai jelas. Ia berlalu, meniup layar perahu tak bertuan.

"Angin..." panggilku lirih, "bukankah seharusnya kita tengah berada di sana sekarang?"

Gelombang semakin tinggi, pekat memadamkan pelita yang kuguratkan dalam dada. Angin menerbangkan nyawa, tak membawa do'a.

Perlahan kuruntuhkan jemariku. Kubiarkan ia mengalir bersama takdir dan waktu. Pedih yang berkilat di kedua mataku tak pernah begitu nyata. Namun dendam yang kuredam, takkan pernah kubiarkan mengusik perjalanannya. 

"Angin... aku merelakan separuh hidupku terbang bersamamu. Tak usahlah kau kembali, nanti langit kan diserbu lagi. Aku takut sayapmu patah, dan jatuh cinta lagi."

Senyumku mengembara dalam ingatan, memutar kembali wajah-wajah bahagia. 

"Dan... angin..."

Semesta menghentikan seluruh suara. Ada yang tiba, mungkin kita akan segera berjumpa.

"Bukankah bahagia hanya akan terasa berharga... ketika ia hanya hadir.. untuk sementara?"

1 comment:

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search