Monday, June 15, 2009

Tujuh Kupu-kupu






Entah berapa tahun yang lalu, saat aku masih seusia kalian, ada tujuh ekor kupu-kupu putih yang sangat air mata cintai. Melebihi cintanya pada dandelion kecil di halaman rumah kita. Mereka selalu bersama-sama. Menghabiskan detik yang berharga. Pada mahkota yang dijatuhi embun, di tepiannya mereka menyusuri pesisir. Kadang angin menjatuhkan, tapi mereka tetap bertahan. Kupu-kupu yang satu sangat menyayangi yang lainnya. Begitu juga sebaliknya.

Meski tempat mereka berbeda, namun hati mereka telah terikat bagai nyawa. Kadang mereka menangis, dan kupu-kupu yang lain menghapuskan air mata temannya dengan sayap yang senantiasa ada. Mereka hidup bahagia di taman sebuah desa. Tempat para nelayan melempar sauh ke lautan lepas, samudra biru yang tak pernah bisa dimaknai apa artinya. Kadang mereka terbang bersama ke pantai, hanya untuk menatap mentari menjelang kepergiannya. Sang mentari tersenyum pada mereka, menaburkan cahayanya pada sayap-sayap mereka yang berangkulan satu sama lain. Menguatkan mereka akan rasa sakit yang ia tahu akan terjadi satu per satu. Ia juga tahu, bahwa suatu saat ia tak akan melihat mereka terbang bersama lagi. Tak akan ada yang rela menunggu hanya untuk menatap kepergiannya di suatu senja di hari yang lain lagi....

Mentari meneteskan air matanya..

"Mengapa ia menangis sahabatku" tanya seekor kupu-kupu pada temannya.

Temannya menjawab " Aku tak pernah bisa mengerti, mungkin ia mencintai senja ini."

Mereka meninggalkan pantai dengan penuh tanya. Tanpa tahu bahwa mentari telah mendengar kisah yang akan ditakdirkan untuk mereka.

Diantara mereka ada seekor kupu-kupu yang sayapnya tak putih sempurna. Kupu-kupu itu selalu merasa belum bisa menjadi sahabat yang baik untuk yang lainnya. Namun yang lain tak menganggapnya seperti itu.

"Justru kamu yang mempertemukan kita dalam senja yang indah"

"Dalam gerimis yang memberi kehidupan" sambung yang lain.

"Dan dalam keikhlasan sebuah cerita persahabatan" begitulah sampai ketujuh temannya berbicara. Kupu-kupu itu menatap tak percaya. Ia tak dapat berkata apa-apa saat ketujuh temannya memeluknya erat.
Lalu satu persatu, mereka menghilang dari dekapannya.

Sambil menangis, kupu-kupu itu terbang menuju pantai. Fajar tergurat di keheningan. Mentari telah tahu bahwa hari itu akan segera tiba. Ia membelakangi pantai dan mendekap kesunyian sebanyak yang ia mampu, tak ingin melihat kupu-kupu itu menangis.

"Mengapa kau tak mengatakannya, mentari?" mentari tak menjawab.

Ia menahan isaknya sekuat tenaga. Kupu-kupu itu tersenyum perih.

"Aku takkan pernah kehilangan mereka, kan?"

Mentari menggelengkan kepalanya. Namun masih jua tak berkata. Kupu-kupu itu menegadahkan kepalanya ke langit fajar yang gelap..

"Subuh ini begitu dingin, mentari..."

"Sangat dingin....."

...............................................

"Kak, kakak kenapa menangis?" aku tersentak dan dengan segera menghapus air mataku.

"Ah tidak." kataku.

"Lalu apa yang terjadi Kak dengan kupu-kupu itu?"

"Dia tetap bertahan sampai sekarang, namun tak ada yang tahu dimana ia berada."

"Anak-anak, waktunya makan!" Anak-anak kecil di depanku berlarian menuju sebuah bangunan yang sudah sangat tua namun sangat bersih.

"Tempat ini masih belum berubah..." gumamku dalam hati.

Seorang wanita berjilbab putih keluar dari dalam bangunan, menepuk bahuku sambil tersenyum."Terima kasih ya nak, sudah bantu-bantu ibu disini." 

Aku tersenyum dan bersiap pulang, "Sama-sama Bu, saya juga senang."

Wanita itu memandangku dengan senyumnya yang khas, ia menganggukkan kepalanya,"Sering-sering kesini ya. Ceritakan lagi sebuah kisah pada mereka."

Aku mengangguk, "Pasti bu, saya pulang dulu, assalammualaikum.." 

Wanita itu masuk kedalam rumah setelah ia tak melihat punggungku lagi di gerbang besar yang menyimpan banyak kenangan itu.

Suara langkah kaki kecil terdengar di belakangku.

"Kaaaakkk" aku membalikkan tubuhku. Seorang anak perempuan yang tadi mendengar ceritaku berlari mengejarku. Aku berjongkok saat ia behenti di hadapanku.

"Besok datang lagi ya kak, aku mau mendengar cerita kakak lagi!" katanya tersenyum manis.

Aku menganguk, "Iya, kakak pasti datang." 

Ia terlihat senang dan berbalik menuju bangunan itu. Aku menegakkan tubuhku dan berjalan pulang, anak tadi berteriak dari belakangku

"Kakak kupu-kupu! tetap semangat ya!"

Aku terpaku. Menoleh ke belakang dengan perlahan. Tapi tak kulihat anak perempuan yang tadi. Yang kulihat hanya seorang pria berjas hitam yang sedang menggandeng seorang anak lelaki yang sangat kukenal. Anak itu menundukkan wajahnya sambil sesekali melihat ke langit senja yang temaram..

"Kau..." gumamku tanpa sadar...

1 comment:

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search