Wednesday, May 2, 2018

Senja September







5 September 2010

Lantaimu penuh debu, kujejaki pelan sampai ke tebing. Di seberang bahkan jingga mulai menerang. Kau tak pernah bercerita. Tidak setelah aku keluar dari kamarku yang selalu kau tutup dengan tirai biru muda lusuh.

Setahun sudah semenjak Tuhan pergi meninggalkan gubuk sunyi ini.
Jendela kecil yang kau cintai pun tak bisa terbuka lagi...

 "Aku akan menjemputmu setelah gelap." Katamu suatu hitam. Menenangkanku yang terdiam, meredam sesaat yang entah. "Engkau menunggu kan?" Tanyamu kemudian. Angguk tak berbalas, diam di peraduan. Kau usap pelan rambutku, menjatuhkan rindu satu per satu. Sentuh yang selalu kupungut diam-diam, tatkala engkau tiada lagi terlihat.


"Aku takkan pernah pergi." Bisikmu di teligaku, berhembus dan bergema dalam ruang-ruang semu. Tak jua aku menjawab. Ruas jemarimu menggenggam tanganku, kau tatap aku dengan pilu.
 

"Subuh telah datang," bisikku parau, "takkan ada lagi gelap." Tangisku hampir pecah. Namun getar di bibirmu memaksaku untuk terisak.

Hari itu kutinggalkan engkau bersama kenangan. 

Kutinggalkan engkau demi kebahagiaan yang selalu kita cari.

Dalam detak gerimis jiwa memanggilnya, engkau akan bahagia.
Engkau yang selalu datang, menungguku di ujung jalan dengan senyum terindah yang kau punya.

Meski aku menyakitimu, membunuh jiwamu yang besar, meski aku membuatmu bersedih, melukai batinmu yang tulus, engkau masih ada, mengantar kepergianku hingga langit mengiringku jauh..

Engkau lambaikan tanganmu, senyum itu masih menggores langit. 

Namun dari balik mimpiku, kulihat setetes luka menetes dari redup matamu.

"Aku mencintaimu..."

Kata-kata itu terngiang dalam resahku.

Tanpa jawaban, kubiarkan pedihku melayang,


Tinggi..


memudar diantara awan-awan...

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search